Perlindungan Konsumen

Nama            : Rachmah Auliawati
NPM             : 28216446
Kelas            : 2EB12
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Dosen           : Tuti Eka Asmarani
Tugas            : Softskill Tugas ke-1 (Perlindungan Konsumen)




ANALISIS SINGKAT PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KETIDAKSESUAIAN HARGA PROMOSI DISKON SECARA ONLINE


Oleh:
Kelompok 4

Terdiri dari:
Aditio Tri Nugroho (20216196)
Anjar Ismunandar Keynes (21214332)
Rachmah Auliawati (28216446)

2EB12

Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia memiliki ketergantungan terhadap sesamanya.Manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya seperti berburu, bercocok tanam, berdagang, dan lainnya.Dengan kebutuhan manusia yang beragam membuat manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya hanya bercocok tanam atau berdagang saja.Perbedaan alam, iklim, budaya di setiap daerah menimbulkan adanya ketergantungan satu terhadap lainnya.Setiap daerah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal inilah yang memicu manusia melakukan barter dan menjual barangnya terhadap individu atau kelompok.
            Perdagangan mempunyai tujuan untuk memenuhi kekurangan dengan menukarnya atau membeli/menjual sesuatu secara adil.Di Indonesia perdagangan diatur secara hukum dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).Perkembangan teknologi di era global ini membuat perdagangan semakin berkembang pesat. Ditambah akses internet membuat perdagangan itu sendiri semakin beragam hingga munculnya istilah e-commerce, yakni perdagangan secara online melalui internet. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Munculnya perusahaan e-commerce di Indonesia seperti Zalora, Lazada, Kaskus FJB, Olx, dan lainnya.
            E-commerce menjadi salah satu alternatif bagi konsumen untuk berbelanja karena tidak perlu memakan waktu dan ongkos lebih.Berkembangnya e-commerce merupakan revolusi besar dalam bidang perdagangan. Beralihnya transaski jual beli fisik menjadi jual beli secara online  tidak hanya mempengaruhi cara bertransaksinya, namun juga mempengaruhi sistem promosi jual beli. Promosi menurut Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah kegitan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
            Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk membahas masalah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan promosi online. Maka penulis menyusun analisis singkat dengan judul “ANALISIS SINGKAT PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KETIDAKSESUAIAN HARGA PROMOSI DISKON SECARA ONLINE”.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1)      Apakah hak-hak pada konsumen dilanggar dengan adanya promosi diskon online yang tidak sesuai?
2)      Bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha dengan promosi diskon online yang tidak sesuai?

1.3 Tujuan Penelitian
            Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)       Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis hak-hak konsumen dalam promosi diskon secara online.
2)       Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis pertanggung jawaban pelaku usaha dalam promosi diskon secara online.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen
            Konsumen yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar atau dalam negeri.
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak konsumen. Hak konsumen adalah:
1)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4)      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6)      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak 
diskriminatif.
8)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila 
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika serikat J.F. Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang terdiri dari:
1)      Hak memperoleh keamanan.
2)      Hak memilih.
3)      Hak mendapat informasi.
4)      Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Organization of Consumer Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:
1)      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
2)      Hak untuk memperoleh ganti rugi.
3)      Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
4)      Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:
1)      Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid).
2)      Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen)
3)      Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding).
4)      Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming).
5)      Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Beberapa rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah dikemukakan secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:
1)      Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.
2)      Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar.
3)      Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang 
dihadapi.

Oleh karena itu, ketiga hak prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/ merupakan prinsip perlindungan konsumen di Indonesia.
Kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:
1)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
2)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
3)      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara 
patut.

Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa.Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.
Kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.

2.2 Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil.Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa.Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha. Dalam pasal 3 angka 1 disebutkan bahwa:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat Undang-Undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha.Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik).Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah kalangan investor, produsen, dan distributor.
Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai hak sebagai berikut:
1)      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2)      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3)      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4)      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.31
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak pelaku usaha saja, tetapi juga mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, antara lain:
1)      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2)      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan 
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan 
dan pemeliharaan.
3)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak 
diskriminatif.
4)      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan 
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5)      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas 
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6)      Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat 
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7)      Memberi Kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur pelaku usaha untuk beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menekankan bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan pada saat transaksi dengan produsen.
Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha adalah:
1)      Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2)      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)      Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4)      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
1)      Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2)      Tanggung jawab kerugian atas pencemaran.
3)      Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.

2.3 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
            Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis.Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relavan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1)      Asas manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2)      Asas keadilan, agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3)      Asas keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.
4)      Asas keamanan dan keselamatan konsumen, memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5)      Asas kepastian hukum, pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1)      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2)      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3)      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4)      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5)      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6)      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

2.4 Pengertian Perjanjian Jual Beli
Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata yang mengatur bahwa perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga.Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga.Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
Kesepakatan dalam perjanjian jual beli yang pada umumnya melahirkan perjanjian jual beli tersebut, juga dikecualikan apabila barang yang diperjual belikan adalah barang yang biasanya dicoba dulu pada saat pembelian, karena apabila yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut adalah barang yang harus dicoba dahulu untuk mengetahui apakah barang tersebut baik atau sesuai keinginan pembeli, perjanjian tersebut selalu dianggap dibuat dengan syarat tangguh, artinya perjanjiantersebut hanya mengikat apabila barang yang menjadi objek perjanjian adalah baik

2.5 Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)
Pada transaksi jual beli online (e-commerce), para pihak yang terkait didalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang dilakukan secara elektronik dan sesuai dengan Pasal (1) butir 17 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, e-commerce adalah kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen, manufaktur, service providers, dan pedagang perantara dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer yaitu internet.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik beberapa unsur dari e-commerce, yaitu:
1)      Ada kontrak dagang.
2)      Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik.
3)      Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan.
4)      Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik.
5)      Sistemnya terbuka, yaitu dengan internet.
6)      Kontrak itu terlepas dari batas, yuridiksi nasional.

2.6 Promosi
Promosi adalah kegiatan mengkomunikasikan informasi dari penjual kepada pembeli atau pihak lain dalam saluran untuk mempengaruhi sikap dan perilaku. Dengan tujuan utama memberitahu pelanggan target tentang ketersediaan produk yang tepat pada tempat yang tepat dan harga yang tepat pula.
Tujuan utama promosi dapat disimpulkan menjadi 8 hal, yaitu:
1)      Meningkatkan jumlah penjualan.
2)      Meningkatkan konsumen baru.
3)      Meningkatkan pembelian kembali.
4)      Meningkatkan loyalitas konsumen.
5)      Memperluas kegunaan.
6)      Menciptakan ketertarikan.
7)      Mengenalkan produk.
8)      Menghindari persaingan perang harga.

Ada berbagai macam cara promosi yang umumnya dilakukan oleh produsen, yaitu sebagai berikut:
1)      Iklan baik di media cetak maupun media digital.
2)      Diskon atau pemotongan harga sesuai yang ditentukan oleh produsen.
3)      Pemberian hadiah lain seperti barang lain, uang, undian, dan hal-hal lain yang menarik minat konsumen untuk membeli barang yang dipromosikan.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha.Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.

2.7 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal-pasal berikut ini mengatur perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, menurut UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999.Terdiri atas 10 pasal (Pasal 8 – Pasal 17).

Pasal 8
1)      Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1.1)            tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.2)            tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
1.3)            tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
1.4)            tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
1.5)            tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
1.6)            tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
1.7)            tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
1.8)            tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
1.9)            tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
1.10)        tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3)      Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
4)      Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9
1)      Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
1.1)            barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
1.2)            barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
1.3)            barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
1.4)            barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
1.5)            barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
1.6)            barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
1.7)            barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu.
1.8)            barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
1.9)            secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
1.10)        menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
1.11)        menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2)      Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
3)      Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1)      harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.
2)      kegunaan suatu barang dan/atau jasa.
3)      kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
4)      tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
5)      bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
1)      menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
2)      menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
3)      tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain.
4)      tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
5)      tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain.
6)      menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal 13
1)      Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
2)      Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
1)      tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
2)      mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa.
3)      memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
4)      mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
1)      tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
2)      tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17
1)      Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
1.1)            mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa.
1.2)            mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa.
1.3)            memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa.
1.4)            tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa.
1.5)            mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
1.6)            melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2)      Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.


BAB III
HASIL ANALISIS DAN SARAN

3.1 Hasil Analisis
1)      Promosi yang melanggar peraturan yang berlaku adalah promosi yang tidak sesuai. Namun pada nyatanya banyak promosi yang tidak mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menimbukan kerugian bagi konsumen. Khususnya dalam promosi diskon secara mark-up harga yang menaikan harga secara tidak wajar demi menarik minat konsumen. Hal tersebut jelas melanggar aturan-aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang ITE. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 huruf c bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Serta huruf g yang menyebutkan bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti kerugian dan/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Selain itu Undang-Undang tersebut dalam pasal 8 ayat (1) huruf dmelarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, dan kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang/jasa tersebut. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 9 menyatakan bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, serta produk yang ditawarkan. pasal 28 ayat (1) juga melarang setiap orang untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
2)      Setiap pelaku usaha yang melakukan kegiatan promosi wajib melaksanakan kewajibannya serta harus bertanggungjawab atas promosi yang dilakukannya. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ayat (1) “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan menurut ayat (2) pasal ini “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Selain itu dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ayat (2) menyebutkan bahwa “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”.

3.2 Saran
1)      Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan e-commerce karena e-commerce merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara melakukan transaksi dengan manusia lainnya dimana tidak semua transaksi yang dilakukan berjalan dengan baik karena benturan kepentingan antara pihak yang berinteraksi. Pengawasan itu tidak hanya sebatas dalam kegiatan transaksi saja, kegiatan promosi, pertanggung jawaban dan lain-lain juga perlu diawasi sehingga kegiatan e-commerce di Indonesia semakin aman dan tidak terjadi kejadian yang merugikan salah satu pihak.
2)      Pemerintah perlu meningkatkan mutu konsumen Indonesia dengan cara memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran atas hak, kewajiban dan kehati-hatian dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Sehingga konsumen di Indonesia dapat melindungi dirinya sendiri maupun ikut menjadi pengawas kegiatan e-commerce di Indonesia.


REFERENSI

Buku dan Literatur
Burton, Simatupang Richard, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis (Edisi. Revisi), Jakarta: Rineka Cipta.
Kotler, Philip dan Gary Armstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.
Makarim, Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2009. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
McCarthy, E. Jerome dan Wiliam D. Perreault, JR. 1993. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. 2011. Hukum Perikatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Pers.
______, 2011.Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Az. 1995.Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
______, 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar.Jakarta: Daya Widya.
Nugroho, Susanti Adi. 2011. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana.
Ranku, Ahmad. 2010. Cyberlaw dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Siahaan, N.H.T.. 1999. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei.
Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sitompul, Asril. 2004. Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia.
Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.
Thiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran. Yogjakarta: Andi.
Thiptono, Fandy dan Gregorius Chandra. 2012. Pemasaran Strategik. Yogjakarta:
Andi.

Online
Hak Konsumen. https://ylki.or.id/hak-konsumen/. Diakses tanggal 12 Maret 2018: Depok.
Kewajiban Konsumen. http://ylki.or.id/kewajiban-konsumen/. Diakses tanggal 12 Maret 2018: Depok.
Konsumen. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsumen. Diakses tanggal 12 Maret 2018: Depok.
Penelitian Perilaku Konsumen. http://digilib.unila.ac.id/25819/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf. Diakses tanggal 13 Maret 2018: Jakarta.
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha.http://panduankonsumen.com/perbuatan-yang-dilarang/. Diakses tanggal 13 Maret 2018: Jakarta.
Perlindungan Konsumen. https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen. Diakses tanggal 12 Maret 2018: Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB 9: PENILAIAN PRESTASI KERJA

Perencanaan Bisnis & Contoh Proposal Bisnis Catering

BAB 8: PROMOSI DAN PEMINDAHAN