ANALISIS SINGKAT PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI INDONESIA DENGAN LEMBAGA ARBITRASE


Oleh:
Kelompok 4

Terdiri dari:
Aditio Tri Nugroho (20216196)
Anjar Ismunandar Keynes (21214332)
Rachmah Auliawati (28216446)

2EB12

Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi
Universitas Gunadarma


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut "keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat" (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental "bau formalisme-prosedural" ketimbang kedekatanpada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa- sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid.
Oleh karena itu penulis memilih judul penelitian “ANALISIS SINGKAT PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI INDONESIA DENGAN LEMBAGA ARBITRASE” untuk menambah wawasan kita akan lembaga arbitrase ini.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1)      Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa asuransi dengan lembaga arbitrase?
2)      Bagaimana kekuatan putusan lembaga arbitrase?

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)      Agar mengetahui penyelesaian sengketa asuransi dengan lembaga arbitrase.
2)      Agar mengetahui kekuatan putusan lembaga arbitrase.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Metode Penulisan
Untuk menunjang penelitian ini maka dilakukan penelitian deskriptif yaitu pertama-tama memberikan gambaran permasalahan secara kualitatif, dan untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggung jawabkan dalam penulisanpenelitian ini, maka penulis menggunakan tahapan-tahapan penulisan seperti berikut ini:

2.1.1 Studi Kepustakaan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sekunder yaitu meliputi karangan-karangan, riset kepustakaan, dan media massa yang merupakan bahan data sekunder serta UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai bahan data primer.
2.1.2 Analisa Data
Dalam hal ini penulis menggunakan analisa deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan, menguraikan dan menafsirkan data yang terkumpul, yang juga tidak meninggalkan pendapat para ahli.

2.2 Pengertian Arbitrase
Lembaga Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang juga basa disebut sebagai “pengadilan wasit” sehingga para arbiter dalam peradilan arbitrase befungsi layaknya wasit dalam suatu pertandingan.
Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun internasional) sebagai suatu cara perdamaian memecahkan ketidak sefahaman fihak-fihak dibidang kegiata komersial. Bidang komersial tersebut meliputi: transaksi untuk ekspor-impor makanan, perjanjian distribusi, perbankan, asuransi, pengangkutan penumpang, pesawat udara, kapal laut, perusahaan joint venture, dll.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian cara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan ruang angkasa komersial, bahkan ada yang mengendaki agar ditetapkan juga dalam pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
Pada dasarnya yang menjadi kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapat di Ps. 615 – 651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Ps. 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dan juga KUHA Perdata.
Sebenarnya selain arbitrase ada 4 yaitu:
1)      Mediasi/Negosiasi
2)      Badan Pemutus Administrasi
3)      Ombudsman
4)      Internal Tribunal (Munir Fuady, 2000)
Tetapi arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling popular dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal tersebut disebabkan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini. Kelebihan-kelebihan itu adalah sebagai berikut:
1)      Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2)      Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative.
3)      Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yangcukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4)      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5)      Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsungdapat dilaksanakan.
6)      Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).
7)      Proses arbitrase lebi mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
8)      Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Selain itu disamping yang bersifat nasional institusi ini juga ada yang bersifat internasional, jumlahnya banyak dan terdapat di setiap negara, diantaranya badan arbitrase tertua di dunia ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua didunia.

2.3 Pengertian Wanprestasi
Perkataan wnprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad yang berarti pebuatan buruk) (Subekti : 2004).
Menurut ilmu hukum apa yang dimaksud wanrestasi yaitu jika seorang debitur lalai tidak melakukan apa yang dijanjikannya maka ia telah melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji, atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam:
1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3)      Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada berbagai kemungkinan yang bisa dituntut terhadap debitur yang lalai:
1)      Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipunpelaksanaan ini sudah terlambat.
2)      Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugianyang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambatdilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3)      Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai denganpenggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibatterlambatnya pelaksanaan perjanjian.
4)      Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbalbalik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepeda pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya perjajian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian. (Ps. 1266 KUH Perdata).
Berdasarkan ketentuan Ps. 1243 KUH Perdata, maka penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang yaitu berupa:
1)      Biaya-biaya sesungguhnya yang telahdikeluarkan.
2)      Kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda si berpiutang (schaden).
3)      Kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akandidapat seandainya siberhutang tidak lalai.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka haus ditetapkan lebih dulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukakan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli harus membayar uang harga barang tadi. Dalam hal seseorang meminjam uang, sering juga tidak ditentukan kapan uang itu harus dikembalikan. Yang paling mudah untuk menetapkan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Karena jika orang itu melakukannya maka ia telah melakukan wanprestasi.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Klausula Arbitrase
Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Ada 2 (dua) macam klausula arbitrase sehingga suatu sengketa perdata dapat diselesaikan melalui peradilan arbitrase yaitu:
1)      Dengan dicantumkan klausul dalam perjanjian pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pada perjanjian itu akan diselesaikan denga peradilan arbitrase (Ps. 1 ayat1,3 UU Arbitrase) atau biasa juga disebut dengan “Pactum decompromittendo”.
2)      Dengan suatu perjanjia tesendiri, diluar perjanjian pokok. Perjanijan itu dibuat secara khusus bila setelah timbul sengketa dalam melaksanakan perjajian pokok. Suratperjajian semacam ini disebut “akta compromis” (Ps. 2 UU Arbitrase).
Dengan adanya klausula tersebut maka akan meniadakan hak para phak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaia sengketa yang telah ditetepkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan UU no.30 tahun 1999.

PROSEDUR BERACACARAMENURUTUUNO.30TAHUN 1999
Setelah berlakunya UU. No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaia sengketa dan arbitrase, maka secara garis besar hukum acara pada arbitrase tidak sama denga beracara di Pengadilan Negeri.
Mengenai acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase diatur dalam Bab IV Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase, mulai pasal 27-58. Yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
“Bahwa pada prinsipnya semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup, dengan menggunakan bahasa Indonesia kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para dapat memilih bahasa lain yang digunakan”.
Permohonan diajukan oleh pemohon sendiri atau melalui kuasa hukumnya secara tertulis dengan melampirkan perjanjian yang bersangkutan yang memuat klausula arbitrase dalam Bahasa Indonesia. Permohonan tersebut dikirim kepada termohon disertai permintaan agar dalam waktu 14 hari termohon memberikan jawaban atau tanggapannya (Ps. 39). Pihak pemohon sekaligus mengajukan tentang pilihan arbiternya secara tertulis dan pihak arbiter yang bersangkutan memberi pernyataan menerima atau menolak. Demikian juga pihak termohon bersamaan dengan jawabannya iapun harus mengajukan arbiter pilihannya. Ketua majlis arbiter dipilih oleh kedua ariter tersebut.
Perlu diingat bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, semisal tentang sah tidaknya suatu jual beli, asuransi, pengangkutan, dan lain sebagainya.
Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian, seperti tertuang dalam ketentuan pasal 5 UU Arbitrase, misal tentang petanahan, adopsi anak, peceraian, dan lain sebagainya.
3.2 Biaya Arbitrase
A.      Biaya Pendaftaran: Rp2.000.000,- (dibayarkan pada saat pendaftaran permohonan arbitrase).
B.      Biaya Administrasi, biaya Pemeriksaan dan biaya arbiter masing-masing untuk Konpensi dan Rekonpensi dan Arbitrator


Biaya ini dibayarkan setelah BANI menerbitkan surat penagihan kepada para pihak. Biaya tersebut tidak termasuk:
1)      Biaya pemanggilan, transportasi dan honorarium saksi dan/atau tenaga akhli yang diminta-hadirkan oleh Majelis Arbitrase. Biaya ini menjadi beban pihak yang bersangkutan dan harus dibayarkan terlebih dahulu kepada BANI sebelum saksi atau tenaga akhli tersebut didengar kesaksiannya.
2)      Biaya transportasi, akomodasi dan biaya tambahan (bila ada), untuk arbiter yang berdomisili diluar tempat kedudukan sidang terkait. Biaya ini menjadi tanggungan pihak yang menunjuk/memilih arbiter tersebut dan ditentukan besarannya oleh BANI serta dibayarkan kepada yang bersangkutan melalui BANI.
3)      Biaya persidangan yang dilakukan di tempat selain tempat yang disediakan oleh BANI. Biaya ini meliputi biaya tempat persidangan, transportasi dan akomodasi bila diperlukan serta menjadi beban pihak yang meminta atau menjadi beban para pihak apabila atas permintaan Majelis Arbitrase yang bersangkutan.

3.3 Kekuatan Putusan Arbitrase
Sebagaimana dikatakan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Arbitrase ditentukan bahwa :”...Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkarawajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), sedangkan mengenai sifatnya baik yang didasarkan pada ketentuan hukum maupun berdasarkan keadilan dan kepatutan, tentu saja dapat bersifat menghukum (Condemnatoir), hal ini tampak dalam peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berlaku efektif tanggal 1 Maret 2003, dimana dalam Pasal 39 Peraturan Prosedur tersebut ditemukan dalam kalimat :” Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh Pihak yang kalah dan lalai untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam putusan”.
Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat dieksekusi melalui Pengadilan Negeri, sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, sebagaimana asas yang berlaku dalam hukum acara perdata, maka hanya putusan yang bersifat Menghukum (Condemnatoir) sajalah yang dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh pengadilan, baik itu melalui mekanisme Sita Eksekusi, Sita Lelang, Sita Pengosongan dan Sita-sita lainnya.
Di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase di bagi dalam 2 bagian:
1)      Bagian Pertama tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase Nasional (Pasal 59s/d Pasal 64).
2)      Bagian Kedua tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement)putusan arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
Namun untuk kedua putusan baik Nasional maupun Internasional berlaku ketentuan Universal, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat para pihak. Tidak dapat dibanding maupun kasasi, seperti yang diatur dalam Pasal 60 UU Arbitrase. Tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh ijin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1  Kesimpulan
1)      Prosedur/proses beracara dari lembaga arbitrase yang tidak rumit dan bertele-tele serta memudahkan parapihak yang bersengketa menjadi salah satu alasan bagi para pengusaha baik nasional maupun internasional untuk lebih memilih lembaga ini daripada lembaga peradilan umum maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya diluar pengadilan.
2)      Putusan daripada lembaga arbitrase adalah final dan mengikat para pihak jadi tidak ada banding maupun kasasi. Jadi lebih mempercepat proses penyelesaian.

4.2  Saran
1)      Untuk langkah kedepan seyogyanya Pengadilan Negeri dengan tegas menolak/campur tangan dalam sengketa yang didalamnya tercantum klausula arbitrase.
2)      Peraturan yang ada khususnya UU No. 30 tahun 1999 hendaknya dipegang teguh oleh para hakim, pengacara/kuasa hukum, notaries dan juga pihak yang bersengketa, demi terciptanya suatu kondisi yang kita kehendaki bersama.


REFERENSI

1.      Burton, Simatupang Richard, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis (Edisi. Revisi), Jakarta: Rineka Cipta.
2.      Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Sitra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.
3.      Hartini, Rahayu, Hukum Komersial, UMMPress, Malang, 2005.
4.      Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004.
5.      Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999, Sinar Grafika, Jakarta.
6.      Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta.
7.      Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., 1999, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
8.      Drs. C.S.T. Kansil, S.H., 2005, Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 1, PT. Pradya Paramita, Jakarta.
9.      Drs. C.S.T. Kansil, S.H., 2005, Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 2, PT. Pradya Paramita, Jakarta.
10.  Elsi Kartika Sari, S.H., 2005, Hukum dalam Ekonomi Edisi Revisi, Grasindo, Jakarta.
11.  Zaeni Asyhadie, S.H., 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
12.  Richard Burton Simatupang, S.H., Aspek Hukum dalam Bisnis Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
13.  Suyud Margono, S.H., 2001, Hak Kekayaan Intelektual, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta.

14.  Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB 9: PENILAIAN PRESTASI KERJA

Perencanaan Bisnis & Contoh Proposal Bisnis Catering

BAB 8: PROMOSI DAN PEMINDAHAN